Copyright Text

Stop hanya copy paste, baca-telaah-sadur-dan cantumkan URL.

The content is under copyright, so please attach the URL to your references, stop copy and paste right now.

Thank you.

Saturday, January 12, 2013

"Pestisida"

Populasi hama yang meningkat merupakan masalah yang sering ditemui dibeberapa sistem pertanaman. Hal ini dikarenakan hama memerlukan inang untuk melakukan perkembangbiakan sehingga banyak cara yang dilakukan untuk mengendalikan populasi hama. Hama yang paling banyak menyerang tanaman budidaya adalah hama dari golongan insect. Salah satu teknologi yang dari dulu dan sampai sekarang masih digunakan adalah pestisida. Pestisida merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan terus menerus dan belum ada pengganti yang cukup handal dalam mengendalikan hama.
Pestisida memang sangat familiar dengan para petani, karena hampir 90% petani di Indonesia menggunakan pestisida dalam mengendalikan populasi hama. Sehingga hal ini memicu para peneliti dalam mengeksplorasi cara yang ampuh dalam mematikan hama. Insektisida (pestisida untuk mematikan hama golongan insect) sudah memasuki 3 generasi, generasi pertama merupakan generasi insektisda dari jenis sulfur, generasi kedua merupakan generasi insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat dari serangga, dan generasi ketiga adalah generasi insektisida yang bekerja pada sistem endokrin.
Pengembangan teknologi insektisida generasi kedua dan ketiga sangat populer dalam mengendalikan populasi hama yang meningkat. Hal ini mengingat bahwa masing masing generasi memiliki target site yang akan dituju sebagai upaya untuk mematikan hama. Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa target site dari generasi kedua adalah sistem saraf pusat, dimana harapannya adalah untuk mengacaukan pengiriman signal dari sistem saraf serangga ke organ tubuh sehingga harapannya bahwa serangga akan kebingungan terhadap signal yang dikirimkan.  Sedangkan untuk insektisida generasi ketiga target site-nya adalah sistem endokrin yakni sistem yang mengatur kapan serangga melakukan molting dan kapan serangga menuju fase dewasa. Sehingga harapannya adalah proses molting dari serangga dapat dihambat, dan akhirnya adalah kematian pada serangga.
Pada tulisan ini akan dibahas mode of action atau mekanisme kerja dari insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat serangga dan insektisida yang bekerja pada sistem endokrin. Insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat adalah :
1.      Organofosfat dan karbamat
Pada dasarnya pada sistem saraf serangga dihasilkan senyawa Asetilkolin (Ach) yang berfungsi sebagai pembawa pesan, contoh pesannya adalah ; terbang, mendarat, dll. Senyawa Ach ini akan dihasilkan oleh serangga dan akan ditangkap oleh oleh Asetilkolin reseptor (Achr). Ach yang dihasilkan serangga  cukup banyak dalam suatu sistem namun tidak semua Ach akan ditangkap oleh Achr. Beberapa molekul Ach yang tertangkap oleh Achr akan didegradasi oleh suatu enzim, yaitu Asetilkolin esterase (AchE) menjadi asam asetat dan kolin yang nantinya akan masuk kedalam neuron disintesis menjadi Ach. Sehingga peranan dari AchE ini cukup penting dalam mendegradasi Ach yang bebas dengan harapan Achr akan kembali dapat menerima pesan yang dibawa oleh Ach.
Didalam tubuh serangga hemolim merupakan perantara yang baik dalam membawa molekul organofosfat dan karbamat ke dalam sistem peredaran darah serangga.  Insektisida organofosfat dan karbamat merupakan chemical substances yang dikenal sebagai cholinesterase inhibitors yakni penghambat enzim asetilkolin esterase. Senyawa Ach sangat sensitif terhadap organofosfat dan karbamat, sehingga ketika Achr sudah terkarbamisasi oleh karbamat, maka yang terjadi adalah Achr tidak dapat memecah Ach yang sudah tertangkap oleh Achr sehingga yang terjadi selanjutnya adalah Achr tidak akan pernah bebas, maka Achr tidak dapat menerima rangsang/pesan berikutnya. Akibatnya adalah serangga akan mengalami gangguan yang luar biasa karena pesan yang dikirimkan melalui Ach tidak tersampaikan atau tidak dapat diterima oleh Achr dikarenakan kerja dari AchE dihambat oleh karbamat dan organofosfat. Biasanya serangga yang demikian akan melakukan gerakan yang tidak terkoridinir seperti gerakan kaki yang kejang – kejang, antena serangga yang bergerak tidak teratur,dll. Sehingga pada akhirnya serangga akan kehabisan oksigen dan serangga mengalami kematian.
2.      Kloronikotinil (imidakloprid)
Dalam suatu sistem serangga, key and lock theory sangat berkaitan dengan Achr, hal ini karena peran Achr sebagai reseptor dari Ach yang dikirim oleh serangga. Sehingga sensifitas dari reseptor dalam menerima pesan sangat bergantung pada apa yang akan ditangkap oleh Achr. Pengaplikasian dari imidakloprid merupakan salah satu cara yang digunakan sebagai pengecoh bagi Achr. Hal ini terjadi karena terdapat dua senyawa yakni Ach dan imidakloprid dalam hemolim. Keadaan ini lebih kompleks dibandingkan dengan mode of action dari organofosfat dan karbamat. Sehingga Achr harus memiliki kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pembawa pesan agar antara reseptor dan pembawa pesan dapat bergabung, atau yang sering disebut dengan binding affinity. Sehingga binding affinity merupakan salah satu indikator lain apakah suatu insektisida dapat bersaing atau tidak dengan senyawa yang lain. Ketika imidakloprid memiliki binding affinity yang lebih tinggi dari pada Ach maka Achr akan bergabung dengan imidakloprid dan akibatnya tidak ada Achr yang dalam hal ini kita sebut “kosong”, karena sudah terisi penuh oleh insektisida imidakloprid. Karena Achr tidak bisa lagi menerima pesan/rangsang maka yang terjadi adalah adanya akumulasi Ach di dalam sistem dan pesan yang dibawa tidak tersampaikan serta akibatnya adalah uncoordinated respond dari serangga itu sendiri. Uncoordinated respond ini dapat berupa gerakan kaki serangga yang tidak beraturan, gerakan sayap, sehingga mengakibatkan serangga kehabisan oksigen dan akhirnya mengalami kematian.
3.      Organoklorin (DDT dan piretroid tipe 1)
Kita ketahui bersama bahwa pada sistem saraf serangga terdapat bagian yang disebut dengan akson. Akson merupakan elongation of stroma (perpanjangan dari bagian stroma). Keadaan didalam sistem saraf serangga semua dalam keadaan mengapung, hal ini dikarenakan sistem peredaran darahnya adalah sistem terbuka, selain itu juga didalam hemolim juga terdapat Na+, K+, Cl-. Pada bagian axon terdapat bagian yang bernama sodium channel yang berfungsi sebagai tempat keluar masuknya sodium.
Pada kondisi normal molekul sodium akan keluar dan masuk melalui sodium channel. Ketika mencapai kondisi kesetimbangan didaerah tersebut, maka sodium chanel akan menutup, namun ketika kesetimbangan molekul sodium pada exon belum tercapai maka sodium channel akan membuka hingga mencapai kesetimbangan. Dalam proses penghantaran rangsang, keadaan membuka dan menutup adalah normal adanya. Apabila tidak ada proses membuka dan menutup maka rangsang tidak akan tersampaikan. Ketika terjadi detoksifikasi dari organoklorin, dimana yang harusnya sodium channel-nya menutup, namun karena adanya molekul DDT ataupun piretroid tipe 1 maka “pintu” sodium channel akan tidak tertutup, akibatnya akan terjadi gangguan pada sodium channel dan mempengaruhi keseimbangan osmotiknya. Ketika tidak terjadi kesetimbangan osmotik maka akan berujung pada kematian dari serangga.
Insektisida yang bekerja pada sistem endokrin adalah :
1.      Ecdysone Agonist
Ecdysone Agonist merupakan peniru dari 20 – hydroxyecdysone yang mengkode serangga untuk melakukan molting lebih cepat atau lebih lambat sehingga menghasilkan serangga yang premature. Insektisida yang termasuk dalam kelompok agonis ekdison adalah tebufenosida dan methoksifenosida. Pemberian konsentrasi ecdysone akan mempengaruhi kapan serangga molting. Sehingga ketika konsentrasi ecdysone dalam hemolim serangga tinggi maka serangga akan mengalami proses molting. Meskipun secara fisiologis, serangga belum siap melakukan molting, namun hal ini karena konsentrasi ecdysone –nya tinggi maka proses molting lebih cepat dan sering disebut dengan premature lethal molt. Akhirnya ketika serangga premature, maka lama kelamaan serangga akan mengalami kematian.
2.      Mimic Juvenile hormone
Juvenile hormone merupakan hormon yang berguna dalam membawa protein melewati hemolim, karena hormon tersebut dapat melindungi protein terkait bahwa protein mudah larut dalam air sehingga serangga menggunakan hormon juvenile sebagai carrier ataupun pembawa agar protein sampai pada tempat tujuan tanpa adanya proses terlarut dalam hemolim. Hormon juvenile merupakan hormon yang mengatur masalah tipe molting dari serangga. Hormon tersebut erat kaitannya dengan 20 – hydroxyecdysone yang mana hormon tersebut memerintahkan serangga untuk melakukan molting. Sehingga antara hormon juvenile dan 20 – hydroxyecdysone.
Serangga akan mengalami tipe molting jika dipengaruhi oleh konsentrasi hormon juvenile dalam hemolim. Sebagai contoh dalam keadaan yang normal, ketika konsentrasi hormon juvenile tinggi maka yang terjadi adalah perubahan dari larva ke larva. Selanjutnya ketika konsentrasi hormon juvenile rendah maka akan terjadi perubahan dari larva ke pupa. Jika hormon hampir tidak ada maka pupa akan menjadi imago.
Penggunaan mimic juvenile hormone dapat dilakukan dengan memberikan senyawa tersebut kepada serangga dengan harapan bahwa ketika senyawa tersebut masuk kedalam peredaran darah serangga maka akan mempengaruhi tipe molting dari serangga. Ketika konsentrasi ecdysone sudah tinggi akan melakukan molting, namun ketika kita tambahkan hormon juvenile dalam konsentrasi tertentu maka serangga akan melakukan molting, namun tipe moltingnya tidak sesuai dengan tipe molting yang seharusnya, semisal tetap menjadi larva. Sehingga akan mengganggu kehidupan dari serangga serta mempengaruhi dari sistem reproduksi serangga itu sendiri dan akhirnya serangga mengalami kematian.
3.      Chitin Synthesis Inhibitors
Kitin merupakan perpanjangan dari N – asetilglukosaamin. Chitin Synthesis Inhibitors merupakan penghambat pembentukan kitin. Beberapa ahli menduga bahwa penghambat sintesis kitin seperti buprofezin cara bekerjanya adalah dengan menghambat perpanjangan dari N – asetilglukosaamin. Sehingga apabila N – asetilglukosaamin tidak terkait antara satu dengan yang lain, maka kulit serangga akan mengalami “petak – petak”, hal ini ditandai dengan terlihatnya hemolim serangga dari luar kulitnya. Sehingga kulit yang tipis karena tidak terbentuknya N – asetilglukosaamin, maka struktur dari kulit serangga mudah pecah padahal dalam tubuh serangga terjadi aktivitas pemompaan hemolim terus menerus dengan tekanan yang kuat. Dengan kulit serangga yang tipis, yang terjadi adalah pecahnya kulit serangga sehingga hemolim dari serangga keluar maka serangga akan mengalami kematian.

No comments:

Post a Comment