Populasi hama yang meningkat merupakan masalah yang sering ditemui dibeberapa
sistem pertanaman. Hal ini dikarenakan hama memerlukan inang untuk melakukan
perkembangbiakan sehingga banyak cara yang dilakukan untuk mengendalikan
populasi hama. Hama yang paling banyak menyerang tanaman budidaya adalah hama
dari golongan insect. Salah satu
teknologi yang dari dulu dan sampai sekarang masih digunakan adalah pestisida.
Pestisida merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan terus menerus dan
belum ada pengganti yang cukup handal dalam mengendalikan hama.
Pestisida memang sangat familiar
dengan para petani, karena hampir 90% petani di Indonesia menggunakan pestisida
dalam mengendalikan populasi hama. Sehingga hal ini memicu para peneliti dalam
mengeksplorasi cara yang ampuh dalam mematikan hama. Insektisida (pestisida
untuk mematikan hama golongan insect)
sudah memasuki 3 generasi, generasi pertama merupakan generasi insektisda dari
jenis sulfur, generasi kedua merupakan generasi insektisida yang bekerja pada
sistem saraf pusat dari serangga, dan generasi ketiga adalah generasi
insektisida yang bekerja pada sistem endokrin.
Pengembangan teknologi insektisida generasi kedua dan ketiga sangat
populer dalam mengendalikan populasi hama yang meningkat. Hal ini mengingat
bahwa masing masing generasi memiliki target
site yang akan dituju sebagai upaya untuk mematikan hama. Sebagaimana yang
sudah dijelaskan bahwa target site
dari generasi kedua adalah sistem saraf pusat, dimana harapannya adalah untuk
mengacaukan pengiriman signal dari sistem
saraf serangga ke organ tubuh sehingga harapannya bahwa serangga akan
kebingungan terhadap signal yang dikirimkan.
Sedangkan untuk insektisida generasi ketiga target site-nya adalah sistem endokrin yakni sistem yang mengatur
kapan serangga melakukan molting dan
kapan serangga menuju fase dewasa. Sehingga harapannya adalah proses molting dari serangga dapat dihambat,
dan akhirnya adalah kematian pada serangga.
Pada tulisan ini akan dibahas mode
of action atau mekanisme kerja dari insektisida yang bekerja pada sistem
saraf pusat serangga dan insektisida yang bekerja pada sistem endokrin. Insektisida
yang bekerja pada sistem saraf pusat adalah :
1. Organofosfat dan karbamat
Pada dasarnya pada sistem saraf serangga dihasilkan senyawa Asetilkolin
(Ach) yang berfungsi sebagai pembawa pesan, contoh pesannya adalah ; terbang,
mendarat, dll. Senyawa Ach ini akan dihasilkan oleh serangga dan akan ditangkap
oleh oleh Asetilkolin reseptor (Achr). Ach yang dihasilkan
serangga cukup banyak dalam suatu sistem
namun tidak semua Ach akan ditangkap oleh Achr. Beberapa molekul Ach
yang tertangkap oleh Achr akan didegradasi oleh suatu enzim, yaitu
Asetilkolin esterase (AchE) menjadi asam asetat dan kolin yang nantinya akan
masuk kedalam neuron disintesis menjadi Ach. Sehingga peranan dari AchE ini
cukup penting dalam mendegradasi Ach yang bebas dengan harapan Achr
akan kembali dapat menerima pesan yang dibawa oleh Ach.
Didalam tubuh serangga hemolim merupakan perantara yang baik dalam
membawa molekul organofosfat dan karbamat ke dalam sistem peredaran darah
serangga. Insektisida organofosfat dan
karbamat merupakan chemical substances
yang dikenal sebagai cholinesterase
inhibitors yakni penghambat enzim asetilkolin esterase. Senyawa Ach sangat
sensitif terhadap organofosfat dan karbamat, sehingga ketika Achr
sudah terkarbamisasi oleh karbamat, maka yang terjadi adalah Achr tidak
dapat memecah Ach yang sudah tertangkap oleh Achr sehingga yang
terjadi selanjutnya adalah Achr tidak akan pernah bebas, maka Achr
tidak dapat menerima rangsang/pesan berikutnya. Akibatnya adalah serangga
akan mengalami gangguan yang luar biasa karena pesan yang dikirimkan melalui
Ach tidak tersampaikan atau tidak dapat diterima oleh Achr
dikarenakan kerja dari AchE dihambat oleh karbamat dan organofosfat. Biasanya
serangga yang demikian akan melakukan gerakan yang tidak terkoridinir seperti
gerakan kaki yang kejang – kejang, antena serangga yang bergerak tidak
teratur,dll. Sehingga pada akhirnya serangga akan kehabisan oksigen dan
serangga mengalami kematian.
2. Kloronikotinil (imidakloprid)
Dalam suatu sistem serangga, key
and lock theory sangat berkaitan dengan Achr, hal ini karena
peran Achr sebagai reseptor dari Ach yang dikirim oleh serangga. Sehingga
sensifitas dari reseptor dalam menerima pesan sangat bergantung pada apa yang
akan ditangkap oleh Achr. Pengaplikasian dari imidakloprid merupakan
salah satu cara yang digunakan sebagai pengecoh bagi Achr. Hal ini
terjadi karena terdapat dua senyawa yakni Ach dan imidakloprid dalam hemolim.
Keadaan ini lebih kompleks dibandingkan dengan mode of action dari organofosfat dan karbamat. Sehingga Achr
harus memiliki kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pembawa pesan agar
antara reseptor dan pembawa pesan dapat bergabung, atau yang sering disebut
dengan binding affinity. Sehingga binding affinity merupakan salah satu indikator
lain apakah suatu insektisida dapat bersaing atau tidak dengan senyawa yang
lain. Ketika imidakloprid memiliki binding
affinity yang lebih tinggi dari pada Ach maka Achr akan
bergabung dengan imidakloprid dan akibatnya tidak ada Achr yang
dalam hal ini kita sebut “kosong”, karena sudah terisi penuh oleh insektisida
imidakloprid. Karena Achr tidak bisa lagi menerima pesan/rangsang
maka yang terjadi adalah adanya akumulasi Ach di dalam sistem dan pesan yang
dibawa tidak tersampaikan serta akibatnya adalah uncoordinated respond dari serangga itu sendiri. Uncoordinated respond ini dapat berupa
gerakan kaki serangga yang tidak beraturan, gerakan sayap, sehingga
mengakibatkan serangga kehabisan oksigen dan akhirnya mengalami kematian.
3. Organoklorin (DDT dan piretroid tipe 1)
Kita ketahui bersama bahwa pada sistem saraf serangga terdapat bagian
yang disebut dengan akson. Akson merupakan elongation
of stroma (perpanjangan dari bagian stroma). Keadaan didalam sistem saraf
serangga semua dalam keadaan mengapung, hal ini dikarenakan sistem peredaran darahnya
adalah sistem terbuka, selain itu juga didalam hemolim juga terdapat Na+,
K+, Cl-. Pada bagian axon terdapat bagian yang bernama sodium channel yang berfungsi sebagai
tempat keluar masuknya sodium.
Pada kondisi normal molekul sodium akan keluar dan masuk melalui sodium channel. Ketika mencapai kondisi
kesetimbangan didaerah tersebut, maka sodium chanel akan menutup, namun ketika
kesetimbangan molekul sodium pada exon belum tercapai maka sodium channel akan membuka hingga mencapai kesetimbangan. Dalam
proses penghantaran rangsang, keadaan membuka dan menutup adalah normal adanya.
Apabila tidak ada proses membuka dan menutup maka rangsang tidak akan tersampaikan.
Ketika terjadi detoksifikasi dari organoklorin, dimana yang harusnya sodium channel-nya menutup, namun karena
adanya molekul DDT ataupun piretroid tipe 1 maka “pintu” sodium channel akan tidak tertutup, akibatnya akan terjadi gangguan
pada sodium channel dan mempengaruhi
keseimbangan osmotiknya. Ketika tidak terjadi kesetimbangan osmotik maka akan
berujung pada kematian dari serangga.
Insektisida yang bekerja pada sistem endokrin adalah :
1. Ecdysone
Agonist
Ecdysone Agonist merupakan peniru dari 20 – hydroxyecdysone
yang mengkode serangga untuk melakukan molting
lebih cepat atau lebih lambat sehingga menghasilkan serangga yang premature. Insektisida yang termasuk
dalam kelompok agonis ekdison adalah tebufenosida dan methoksifenosida. Pemberian
konsentrasi ecdysone akan
mempengaruhi kapan serangga molting. Sehingga
ketika konsentrasi ecdysone dalam
hemolim serangga tinggi maka serangga akan mengalami proses molting. Meskipun secara fisiologis,
serangga belum siap melakukan molting,
namun hal ini karena konsentrasi ecdysone
–nya tinggi maka proses molting
lebih cepat dan sering disebut dengan premature
lethal molt. Akhirnya ketika serangga premature,
maka lama kelamaan serangga akan mengalami kematian.
2. Mimic
Juvenile hormone
Juvenile hormone merupakan hormon yang berguna dalam membawa protein
melewati hemolim, karena hormon tersebut dapat melindungi protein terkait bahwa
protein mudah larut dalam air sehingga serangga menggunakan hormon juvenile
sebagai carrier ataupun pembawa agar
protein sampai pada tempat tujuan tanpa adanya proses terlarut dalam hemolim. Hormon
juvenile merupakan hormon yang mengatur masalah tipe molting dari serangga. Hormon tersebut erat kaitannya dengan 20 –
hydroxyecdysone yang mana hormon tersebut memerintahkan serangga untuk
melakukan molting. Sehingga antara hormon
juvenile dan 20 – hydroxyecdysone.
Serangga akan mengalami tipe molting
jika dipengaruhi oleh konsentrasi hormon juvenile dalam hemolim. Sebagai contoh
dalam keadaan yang normal, ketika konsentrasi hormon juvenile tinggi maka yang
terjadi adalah perubahan dari larva ke larva. Selanjutnya ketika konsentrasi
hormon juvenile rendah maka akan terjadi perubahan dari larva ke pupa. Jika
hormon hampir tidak ada maka pupa akan menjadi imago.
Penggunaan mimic juvenile hormone
dapat dilakukan dengan memberikan senyawa tersebut kepada serangga dengan
harapan bahwa ketika senyawa tersebut masuk kedalam peredaran darah serangga
maka akan mempengaruhi tipe molting
dari serangga. Ketika konsentrasi ecdysone
sudah tinggi akan melakukan molting,
namun ketika kita tambahkan hormon juvenile dalam konsentrasi tertentu maka
serangga akan melakukan molting,
namun tipe moltingnya tidak sesuai
dengan tipe molting yang seharusnya,
semisal tetap menjadi larva. Sehingga akan mengganggu kehidupan dari serangga
serta mempengaruhi dari sistem reproduksi serangga itu sendiri dan akhirnya
serangga mengalami kematian.
3. Chitin
Synthesis Inhibitors
Kitin merupakan perpanjangan dari N – asetilglukosaamin. Chitin Synthesis Inhibitors merupakan penghambat pembentukan kitin. Beberapa
ahli menduga bahwa penghambat sintesis kitin seperti buprofezin cara bekerjanya
adalah dengan menghambat perpanjangan dari N – asetilglukosaamin. Sehingga
apabila N – asetilglukosaamin tidak terkait antara satu dengan yang lain, maka
kulit serangga akan mengalami “petak – petak”, hal ini ditandai dengan
terlihatnya hemolim serangga dari luar kulitnya. Sehingga kulit yang tipis
karena tidak terbentuknya N – asetilglukosaamin, maka struktur dari kulit
serangga mudah pecah padahal dalam tubuh serangga terjadi aktivitas pemompaan
hemolim terus menerus dengan tekanan yang kuat. Dengan kulit serangga yang
tipis, yang terjadi adalah pecahnya kulit serangga sehingga hemolim dari
serangga keluar maka serangga akan mengalami kematian.
No comments:
Post a Comment